Cerpen – One Last Kiss for Goodbye

One Last Kiss for Goodbye

"DAN apakah kau tidak menginginkan sesuatu untuk dirimu sendiri? Cinta, persahabatan, keluarga, or let me make it more realistic. Materi?"

Or that I want to do today is laying down under these beautiful stars, watching and fill my head with positive things. But this is what I got. This man, this hateful. Mereka mendatangiku serempak. Berdiri dibawah sinar bintang yang paling terang. Seolah ia panggung, dan aku penonton. Diamku membuatnya terus membual. Tentang cinta, pengorbanan, persahabatan... And yeah, it sucks.

"Percayalah bahwa kau masih bisa bahagia, Kiran." Oh, that's me. Kiveiran Devotta. They called me as simple as it heard. Kiran. "Dan aku yakin, aku bisa memberikanmu segalanya. Apa pun yang kau inginkan, aku sanggup."

I knew every single crevice that happened in his life. Semua perjuangan, karier, topangan hidup dan cintanya. Satu hal yang aku pahami, that's stuff, not even for this fair life. Mungkin dia hidup, satu langit dan udara yang sama. Hidupnya indah seperti dongeng remaja. Pengetahuannya memanjakan keinginannya untuk hidup lebih dibandingkan orang lain yang masih merangkak di bawah kakinya.

And there is me. Hidup dengan penuh penyesalan, merangkak; mendapat kedamaian. My life was full of painful. I cannot reject everything that already happened. But this man, he gives me more than just a choice. Dia memberiku kesempatan. Tatap matanya sama seperti waktu aku jatuh, tersungkur, penuh kebencian dan kesendirian. He wants a better life.

"Let me do this with you, Ki."

And he wants to marry me. "Tentu aku menginginkan sesuatu untuk diriku sendiri. Cinta, keluarga. Persahabatan, mungkin; dengan diriku sendiri. Still, above all of that all I want just a little choice that I can make it for myself. Yang bisa aku tentukan, tanpa paksaan, tekanan," Aku melemparkan tatap mataku padanya. Dia yang senyumnya berharap untuk bertahan lebih lama lagi. "dan tanpa seseorang yang berharap untuk mengisi ruang dalam hatiku."

"Let me know what is this mean?"

"Satu pertanyaan, Kai. And it's done."

"Just one question? Aku kira kau membutuhkan ribuan pertanyaan untuk mengenalku lebih jauh."

"No. I can assure you I want to ask you one big question to clear up this situation.Every situation that he wants me to.

"Kalau begitu kau bebas untuk menanyakannya."

Kembali; mataku menatap sinar paling terang yang berada tepat pada kepalanya. Rambutnya yang kemerahan, mata anggunnya, semua dalam bayang kepalaku saja. Desah hembusan malam terasa lebih sejuk dibandingkan malam sebelumnya. Dingin hatiku yang berperan. Bimbang tidaklah lagi. Bimbang hanya ada dalam kamus cinta. Kini semua cinta dan bahagia terenggut, apa yang tersisa untukku seorang?

Namun tetap pada akhirnya aku harus memberikan jawaban tepat pada matanya. "Will you give me a choice?"

Perangahnya mendalam untuk sejenak. Gemuruh senyumnya berganti menjadi payung tanya. "Kau berharap aku menjawab ya?"

"Seumur hidupku, aku selalu diberikan jawaban."

Now hear this out. This is my story. "Tidak pernah ada pilihan dalam hidupku. Mulai dari makan apa, sekolah di mana, kuliah jurusan apa, hingga pada akhirnya menikah dengan siapa. None of these answers include my opinion or my will. Tidakkah rumor itu menusuk telinga semua warga? Bahwa aku hanyalah seorang pembawa sial? Seorang wanita yang tidak normal? Hidup dengan seluruh alat bantu untuk menopang hidup? Seorang wanita yang memakan dua nyawa suaminya sendiri?" Aku mendekap jantungku sendiri. "Pun aku 'tak pernah meminta Dior dan Nire kehilangan nyawanya karenaku. Tuhan yang memberikan jawabannya mewakiliku. Sesuatu yang 'takkan bisa dikembalikan."

Lambungku tertusuk perih. Isi kepalaku, menyakiti tubuhku. Kembali, sekali lagi. Pada rongga pedih yang harus kembali aku lewati. Kenangan demi kenangan. Perlahan demi perlahan. Semua pergi dan tersisa aku sebagai satu wanita yang dihindari oleh semua orang.

"Then yes, Kai. I want you to say 'yes' so I can finally make a choice for once—in my life," lanjutku dengan penuh keyakinan.

"Baiklah," jawabnya tanpa berpikir panjang. He does love me. Aku bisa menilainya dalam setiap ucapannya. "Katakan apa jawabanmu. But first," Ia menekuk lututnya. Menyejajarkan tatapnya dengan tatapku. "Will you marry me, Kiveiran Devotta? Atau aku perlu menambahkan 'Jestyu' in the last of your name?"

"No ring?" candaku. Untuk sejenak, aku nyaris luluh kepadanya. Luluh kepada bualannya karena ya, dia adalah idaman banyak wanita. Track record-nya, I can admit sangat banyak diisi oleh berbagai macam wanita. "Aku akan menolakmu secara damai, Kaigen Jestyu. I want a better life. Sendiri. Tanpa beban lagi."

"Beban? Aku akan menjadi bebanmu?"

"Beban pembicaraan masyarakat? Ya. You do you. Seorang yang dikagumi oleh banyak wanita cantik di luar sana berakhir dengan seorang janda penuh penyakit? Tidak akan kubiarkan hal itu menyentuh reputasimu."

"We've been together..."

"Ya. I knew you since we're like ten. Kau adalah sahabatku. Itu sebabnya aku tidak bisa membiarkanmu untuk menikahiku. Kita 'tak cukup untuk hubungan itu. 'Tak peduli seberapa banyak materi yang bisa kau berikan untukku, seberapa banyak perlindungan atau pun seberapa cinta yang kau tawarkan. None of these necessary now. I want a better life. And I can't get that if you stand in my way."

Bola matanya membesar. Aku sadar aku baru saja menyentuh jantungnya dan meremasnya dengan sangat kencang ketika ia mendadak berdiri dan menghantam udara dengan sentakannya. "Aku menghalangi jalanmu?"

"I don't wanna being happy with you. I don't wanna be happy with anyone else. Aku ingin memutuskan jalanku sendirian. Mati kelaparan pun akan kujalani asal aku hidup atas namaku sendiri, Kai. Bukan kau, bukan orang lain. Aku dan hanya bersama dengan langkahku saja."

"And that's all? Baiklah." Senyumnya kembali. "Aku juga akan mencari jawabanku sendiri, Ki. Not with standing you ready or not."

∫∫∫

"Aku tidak akan pernah mengizinkanmu untuk menikahi wanita itu, Kai."

"Ma, dengarkan aku. Dia adalah sahabatku. Keluargaku. Seseorang yang paling mengenal aku. I will not let her flee from my life."

"Wanita itu akan menyebabkan nasib buruk padamu, keluarga kita."

"Apakah mama akan terus bersikeras sampai aku kembali mengizinkannya melenggang pergi menemukan kebahagiaannya tanpaku?"

"Dan kali ini kau tidak akan kembali menangis 24 jam per hari hanya demi dirinya yang merepotkan semua orang, Kai."

"Aku tidak akan menyerah untuknya. Tidakkah kau lihat kedua orangtua Kiran berdiri di sana? Mereka akan setuju begitu saja apabila mama mengizinkan. Papa juga sudah setuju, Ma."

"Tidak berarti tidak, Kai."

"Ma, she's the one who gives you life! Dia pernah menyelamatkan hidupmu sekali selepas kecelakaan yang hampir merenggut nyawamu. Dan kebetulan jika memang ia adalah pembawa sial, darahnya mengalir dalam darahmu, Ma. You will not survive. Dia wanita yang sama, yang kau gendong dengan penuh kasih sayang. Kau peluk dengan senyuman di wajah."

"Sekarang dia penyakitan. Ia akan menghabiskan banyak uang kita."

"Ma, uang akan kucari. Akan kudapatkan semua perhiasan terbaik menggantung di seluruh bagian tubuhnya. Let me marry her."

"Mengapa kau merajuk? Kau seperti anak kecil saja."

Semenjak pagi, hanya perdebatan yang kudengar dari balik daun pintu kamarku. Mereka ingin kembali mengambil keputusan untukku. Kai, dia menarik janjinya untuk memberiku sebuah pilihan. Kedua orangtuaku setuju. Bagaimana pun mereka menginginkan malaikat kecilnya untuk memiliki pendamping hidup; berbagi suka maupun duka. Bisa kita lihat, selalu gagal.

Sedangkan kedua orang tua Kai, sedikit bertolak belakang. Yang satu setuju, yang satu lagi menolak dengan langkah keras. Masa lalu bahagia kami harus ditutup dengan kisah pahit dari masyarakat sekitar. Koneksi antar satu kata dengan kata lainnya, sangat membutakan mata mereka. Pendapat mereka dinilai benar, bahwa aku hanya mampu membawa kesialan. But that's alright. Maybe it's true. Aku sudah berusaha untuk memutuskan rantai itu semalam. Dan ini yang kudapatkan. Pengkhianatan.

"Ya, Ma. Sama seperti ketika aku masih kecil, aku merajuk agar Kiran juga mendapatkan mainan yang sama denganku. Sepasang naga emas kecil untuk kami simpan. Ketika aku menghilangkannya, kau menepuk pundakku dan berkata 'besok kita beli yang baru'. Ketika Kiran memberikannya untukku‒berbohong bahwa punyanya yang hilang‒kau memarahinya dan dengan tega mendorongnya hingga tersungkur ke tanah." I remember about that story. The story I would never forget. "Kau memang 'tak pernah menyukainya, 'kan? Semua rumor yang disebarkan, hanya memperburuk keadaan saja, 'kan?" Aku selalu menganggapnya benar. "Aku akan tetap menikahinya, Ma. Tiga persetujuan melawan satu, aku akan tetap menikahinya."

Perlahan aku membuka pintu kamarku. Berjalan perlahan namun pasti, menghindari semua tatapan dan hanya pergi. Entah ke mana kakiku sanggup, sejauh mana aku mampu meraih; hanya berjalan. Dengan napas tertahan, harapku tiada diikuti harus hampa karena Kai meraih lenganku dan mendekapku dalam pelukannya.

"Hei," ucapnya. "I'm sorry. You deserve a compliment not a judge from random people."

Aku marah. Mataku menyilaukannya dan ia melihatnya. "Kau merampasnya."

"Merampas?" tanyanya kebingungan.

"Satu janji kecil bahwa kau akan membiarkanku mengambil keputusanku sendiri dan kau merampasnya."

Lalu aku kembali berjalan. Kakiku bergetar berusaha meraih pintu keluar rumahku sendiri. Masa kecilku, normal. Dibenci, disayangi, dilindungi, dicintai. Satu hal buruk dibandingkan tiga hal baik lainnya. Namun hidup yang aku jalani sekarang, aku mendapatkan semua cacian.

Leukimia. Aku menderitanya. Adik perempuanku, Genevive, ia kehilangan nyawanya pasca operasi pengambilan sumsum tulang belakang. Ia mengalami serangan jantung dengan dosis bius yang terlalu banyak untuknya. Dior, suami pertamaku harus mencari banyak suplai sumsum tulang belakang untuk membuatku bertahan hidup. Ia mengalami kelelahan yang cukup parah, membuatnya kehilangan banyak tenaga, tekanan darah tinggi, melemahkan jantungnya. Nire, suami keduaku. Ambulance accident. Denganku di dalamnya. Dalam satu perjalanan singkat, ketika aku sedang collapse dan harus segera dilarikan ke rumah sakit. Aku kehilangan penglihatanku untuk selamanya. Jaringan bola mataku 'tak akan kembali lagi walaupun dilakukan tindakan operasi. Now, what can I do?

Tidakkah mereka benar? Bahwa aku pembawa sial?

"Aku tidak akan membiarkanmu berpaling lagi dariku, Ki. I want you. Segala upaya kulakukan agar kau kembali menjadi milikku. None of that works. Lalu dengan takdir membawamu kembali pada jalanmu menuju kehidupan bersamaku, kau ingin aku kembali melepasmu?"

Satu hal yang tidak pernah aku tahu. Dia menangis selama 24 jam non stop, berhari-hari sebab aku terlepas dari genggamannya. "You'll be fine without me, Kai. I'll be fine too."

"Benarkah? Apakah kau yakin kau sanggup untuk sendiri?"

∫∫∫

Once upon a time.

When the flowers bloom,

and life is like a rainbow.

1988.

His eyes. Full of color. Dark hair, blue eyes. Beautiful and full of love. Tangannya melukis dengan indah. Sedangkan aku bersandar pada sebatang pohon; memperhatikan. Hiasan kepala, merah jambu bermekar bunga sakura. Senyum tertahan dengan lentera di tangan kirinya; Reagan adalah seniman berbakat. I can admit.

Senyumku terulas melihatnya mendadak menatapku. "Do you like it?"

"Of course."

Tiga bulan aku mengenalnya. Mendadak bersahabat, bertukar kisah akan masa laluku yang... sudahlah, aku ingin bahagia saat ini. Pengorbanan Dior untuk membuatku tetap hidup; tuntutan untuk belajar dari masa lalu dan aku tidak akan membuang masa depan demi ruang trauma.

Justic Reagan adalah berita terbaruku saat ini. Senyum yang 'tak pernah aku tunjukkan selama dua tahun terakhir ini, ia membuatnya kembali. Rona matanya sangat dalam dan kentara; ia menyukaiku. Bagaimana tidak? Aku memberikan segala dukungan untuknya. Bahkan cinta—satu kata yang 'tak pernah aku mengerti bagaimana rasanya, aku mendapat kesempatan.

Ya, dia romantis. Mengingat profesinya sebagai pelukis, ia mendapatkan segala macam perhatian dari apa yang ia tuangkan pada kanvas. Hari ini, hari melukis pertamanya di jalanan. The Roadstream Festival. Semua pelukis dipersilakan. And me? Hanya peneman saja. Melihat Reagan untuk pertama kalinya melukis. Menuangkan imajinasinya dan memberi tulisan tangannya ketika ia nyaris selesai. 'Devotta', tulisnya.

"This honor will be yours, Kiran."

Andai ia tahu, bagaimana aku ingin memberikan pelukan hangat untuknya di bawah rintik hujan. Merapikan alat lukisnya, sebagai seorang kekasih bukan teman. Memegang tangannya, menuntunnya kepada terang kebahagiaan milik kami berdua. Senyum yang ingin kukecup, dan merasakan duka baginya. I want to take every opportunity just to be with him.

But talk about the devil might come, seseorang lebih dulu mendekapku di bawah payung terbuka. Melindungiku dari tetesan air yang mungkin akan melukaiku. I wish I knew him. I just don't. Ia melemparkan senyuman sekilas. Tinggi tubuhnya memudahkannya untuk merengkuhku dan membawaku pulang.

I don't even get a chance to say goodbye for Reagan. Sempat Reagan mengejar untuk suatu penjelasan mengapa aku berpaling, namun sia-sia. Aku tetap melangkah maju, dengan sepasang mata hitam pekatnya. Diam, tanpa suara. Membawaku kembali pada orang tuaku, untuk mengemas barang dan membawaku kembali pergi.

"Apa ini, Ma?"

"Namanya Nire. Kau akan menikah dengannya."

Katakanlah aku 'tak punya banyak nyali untuk menolak. At least I tried. "Aku mencintai lelaki lain. Reagan."

"Pelukis jalanan itu?"

"Dia bukan pelukis jalanan, Mama. Dia seorang pelukis handal dan aku mencintainya. Let me marry him."

"Genius! Kau pikir aku akan membiarkanmu makan debu dan tanah karena penghasilannya tidaklah cukup?"

"Aku tidak peduli, Ma. Please. Let me for once, make my own choice. Aku ingin bersamanya."

"Apakah ia repot-repot untuk datang dan melamarmu?"

"Aku akan membicarakan hal itu dengannya."

"Apa ini, Kiran? Apakah kau sudah kehilangan akal?" Murka mamaku meninggi. Raut wajahnya keras dan menentangnya adalah hal yang tidak masuk akal. "Apa kata orang kalau-kalau mereka mendengar hal ini dari bibirmu itu? Mereka akan langsung menuduhmu sebagai gadis rendahan. Lihat Nire. Dia adalah seorang lelaki baik-baik. Pengacara dan memiliki nama, reputasi dan untuk biaya pengobatanmu."

Aku gadis rendahan? "Apa karena aku datang dan memohon seseorang yang juga mencintaiku untuk menikahiku dianggap salah?"

"Aku tidak mendidikmu untuk menentangku, Kiran."

"Aku tidak akan menerima perintah lagi, Ma."

As I said, at least I tried. Di mana hal ini; di luar kebiasaanku.

"One big chance for you and when you finally understand what person you fall in love with, kau akan menikahi Nire."

"Oke."

"Lusa."

Perdon? "Ma..."

"Dan kau hanya boleh menemui Reagan besok. Sekarang kemas barangmu," Bahkan aku 'tak sempat untuk membereskan perabotan lukis Reagan, "karena jika aku yang benar, kau akan pergi secepatnya."

Setidaknya aku mendapat satu kesempatan untuk menentukan pilihanku sendiri. Jadi untuk kali ini saja, aku menurut. Menutup pintu kamarku, bersembunyi di dalamnya dan dengan tenang, terlelap. Mungkin hingga petang. Lalu ketika aku terbangun, semua rongga kunci telah tertutup. Membatasi keinginanku untuk menemui Reagan malam ini juga. Jadi aku, kembali pada angan tentang apa yang mampu kuucapkan untuknya. Melamarnya? Bagaimana jika memang karena ini aku dinilai sebagai gadis rendahan?

Namun apa itu penting sekarang? Hidupku kembali dipertaruhkan. Antara aku dan seorang asing yang bahkan menatap matanya saja aku muak. Pengacara? Huh, pengacara apanya. Mungkin ia banyak materi. Apakah ia bisa membuatku mencintainya dan tersenyum sepanjang hari karena merasa sempurna?

Reagan bisa. Sebut saja aku terlalu berlebihan untuk berusaha mengenalnya. Lelaki sesempurna Reagan, sebut saja aku terlena. Entah ucapannya benar atau tipuan, aku sudah terlanjur mengikat hati untuknya. Sudah dua tahun semenjak kepergian suami yang 'tak kucintai, masak aku harus kembali hidup dengan lelaki asing?

Namun tiga bulanku sepertinya memanglah sia-sia. "Aku akan menikah," ucapnya sesampaiku di kediamannya. "Dan kau 'tak seharusnya berada di sini, Ki. You need to go home dan menikahlah dengan lelaki itu."

"Tapi kukira..."

"Aku menyukaimu. Sangat. Namun cinta ini harus bertepuk sebelah tangan," bisiknya—seolah 'tak ingin udara mendengarkannya. Setidaknya ia mengungkapkannya. Ya, 'kan? "Kau dijodohkan dan pula denganku. Kau pasti mengenalnya, Nissa, seorang pelukis dari satu perkumpulan yang sama denganku."

"And you choose her over me?"

"What can I say? Kedua orangtua kami sudah menyetujuinya."

"Kita masih bisa..."

"Tidak lagi tersisa ruang untuk sebuah harapan. Thank you for being nice to me and for loving me once in your life. But it has to be done."

And it's okay to fail. Kembali menyetujui persyaratan kedua orangtuaku? Kembali menikahi orang asing dan berjuang untuk menyukainya? Sanggupkah aku?

But the only thing I could ever know, is today will be the last time for seeing him karena esok aku akan menikah—tanpa ucapan perpisahan.

∫∫∫

"Benarkah? Apakah kau yakin kau sanggup untuk sendiri?"

Aku pernah sekali mencoba. Mengagumi, menghormati, lalu terjatuh karena kenyataan. There is no room for happiness. Mungkin hanya bagiku. Tapi ini bukan lagi hal baru, di mana aku harus kembali berjuang dan mendapatkan sebuah tangan dengan genggam lain.

"I'll be so prudish if I let this story being repeat once again. Menyelamatkan diriku sendiri? Aku yakin aku sanggup dengan ucapan masyarakat dan keluargamu. Once I jump in your life, mamamu akan membuatku merasa lebih bersalah lagi jika-jika terjadi sesuatu padamu. So no. This is my final answer. Aku akan memutuskan sendiri, Kai. Kebahagiaan apa pun akan kuraih, dan aku tidak akan menyeretmu. You deserve someone better; not me. And I deserve to be happy tanpa orang lain di hidupku."

"Ki..."

"Here my promise," ucapku dengan lantang sambil mengacungkan kelingkingku ke langit-langit, "I will not betray you by choosing another man above you. It's not because I don't like you, Kai. It's me who want to be single for the rest of my life and me who want to be the real me without any coercion from anyone."

"Apa maksudmu? Kau layak..."

"Aku tidak akan menikah," Finally I say that, did I? "lagi."

"Ki..."

"Do me a favor. Be happy.One last kiss for goodbye. "Without me."

Yiska Visia Aurelia Chrissy

Penulis sering dikenal sebagai Aurelia Chrissy. Lahir di Magelang, 13 Pebruari 2000. Saat ini sedang menempuh pendidikan S1 Ilmu Komunikasi di Universitas Kristen Satya Wacana (UKWS) Salatiga, Jawa Tengah. Aktif menulis novel, cerpen, dan puisi. Penulis bisa dihubungi melalui Instagram @checha_ chrissy dan Email aureliachrissy@gmail.co

Mau Tulisanmu Kami Muat?

Kami menerima naskah cerpen, puisi, cerita anak, opini, artikel, resensi buku, dan esai

Nama Saya Rani, Bukan Ran

KAMU tahu, nama saya Rani. Sekarang jam tangan saya menunjuk angka 3.40. Dua puluh menit dari sekarang kamu akan sampai, dan saya akan menunggu.

The Deaf Memoria

APAKAH kau tahu ada sesuatu yang salah dalam ingatanmu? Sesuatu yang tidak berjalan benar. Sesuatu yang melenceng dari jalur.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *